contoh cerpen remaja

Bintang Itu Kamu

Mantel alam telah beranjak datang. Cahaya mentari mulai meredup mengimbangi sambutan lembut sang rembulan. Sepoi angin sudah nampak lelah berhembus lagi. Kini hanya dingin mencekam yang terasa.
Hamparan mega menghitam membumbung tinggi mengundang perhatian berjuta tetesan hujan. Dalam sepersekian detik, gerimis mulai menimpa tanah yang sedari tadi kering, kehausan.
Seorang perempuan muda yang anggun tampak terduduk pasrah di depan sebuah pusara. Ia mencoba menghambat alur isak tangisnya. Terlihat butiran air mata bening menggenangi pipinya yang putih bersih. Di balik kacamata hitam besar itu tampak sebuah tatapan mata yang nanar, sarat akan berjuta duka tak terbayangkan. Wanita itu meletakkan sebuah karangan bunga di depan nisan batu pusara itu. Ia mulai membelai lembut batu nisan di depannya. Tersirat jelas tatapan kerinduan yang sudah lama dibendungnya. Ia melepas kacamata simbol keanggunannya. Tak ia tutup-tutupi lagi perasaan nelangsa yang tengah dideritanya kini. Wanita muda itu menangis sejadinya, tak peduli lagi akan keanggunan yang ia jaga. Tak peduli lagi dengan lambang wanita kuat yang disandangnya. Yang ia mau hanyalah dunia tahu apa yang menyiksanya. Apa yang selama ini telah menyisakan luka mendalam dihidupnya. Agar dunia bisa membantunya lepas dari beban ini. Beban yang mengikat otaknya hingga tak mungkin bisa berfikir lagi. Luka yang tak mungkin akan hilang. Duka yang akan terus ada walau bumi ini telah musnah. Ia hanya wanita lemah, jauh dari yang semua orang bayangkan.
*****
Silvy mengelus perutnya yang melilit bukan main. Iya benar-benar eneg, ingin muntah. Hari ini jam pelajaran ketiga dan keempat kosong di kelas X-4. Ia melirik Ardan yang duduk di sebelah kirinya.
“Dan, siniin tangan kamu” Silvy memberi contoh dengan menengadahkan tangannya seperti berdoa. Tanpa ragu sedikitpun Ardan menirunya, tepat di depan muka Silvy. Dalam selang waktu tak lebih dari 5 detik, Silvy memuntahkan isi perutnya ke tangan Ardan. Ardan tak bergeming saking kagetnya. Tanpa merasa bersalah Silvy kembali menghadap ke arah meja, meneruskan catatannya.
“WOY..!! Orang sarap..!! Kamu punya otak nggak sih?” ribuan cacian keluar dari mulut Ardan. Namun Silvy, sudah tak mendengarnya sama sekali. Pandangannya kabur. Makin lama makin tidak jelas, kemudian semuanya berubah gelap.
*****
Cahaya matahari dari jendela ruangan membuat mata Silvy terbuka. Ia mengucek matanya dengan kasar. Sepersekian lalu detik ia bingung berada dimana. Namun kini kotak P3K di pojok ruangan menyadarkannya, ini UKS sekolah. Satu poin penting pertama, ia tidak amnesia.
“Udah molornya?” suara bass menyadarkan Silvy dari kelimbungannya. Ardan, musuh bebuyutan Silvy, partner rusuh setianya, tiba-tiba menjadi orang pertama yang ia lihat setelah kepingsanannya. Padahal Ardan lah orang yang paling membenci dan dibenci Silvy. Dialah terdakwa penyobek kertas ulangan Fisika Silvy, orang yang membuang sepatu Silvy ke kolam, dia juga yang ngumpetin kunci motor Silvy hingga ia terpaksa jalan kaki sampai rumah. What happened with him this day?? Silvy hanya bisa terbengong.
“Bisa aku antar pulang sekarang? Atau kamu masih betah melototin mukaku sambil mangap kayak gitu?” tanya Ardan tiba-tiba. Silvy lekas menutup mulutnya. “Kamu mau nganter aku pulang? Perasaan dulu kamu yang paling seneng nyiksa aku pas pengen balik ke rumah,” Silvy bingung. “It’s up to you, aku nggak maksa”. “Oke..oke.. Daripada pulang sendirian. Tapi jangan di turunin tengah jalan lho,”.
******
Hari Senin. Upacara bendera akan segera dimulai. Silvy memutarkan pandangannya mengitari seluruh ruang kelas. Tapi dimana Ardan? Ia hanya ingin berterimakasih karena Ardan telah mengantarkannya selamat sampai tujuan.
Hingga pelajaran usai Ardan tak juga tampak. Padahal biasanya ia akan datang maksimal 30 menit dari bel pelajaran pertama dimulai dengan menenteng tas di sebelah kanan dan jaket hitam kebanggaannya di pundak kiri. Silvy benar-benar khawatir, kemana Ardan? Baru kali ini ia merasakan hati yang berdesir miris seperti ini. Apa ia menyukai Ardan? Ah, tak mungkin, cowok rusuh seperti itu. Silvy berusaha menepis pikirannya.
*****
07.57
Seorang cowok nampak berjalan lunglai ke arah kelas X-4. Matanya sayu, seperti kurang tidur, rambutnya berantakan, bajunya kusut. Benar-benar tak karuan.
“ARDAN!” pekik Silvy lirih. Suaranya tercekat. Ardan yang selalu ceria kenapa berubah seperti itu? Raut mukanya seperti telah tertimpa masalah yang membuat mati terasa lebih baik. Apa yang terjadi? Wajah Ardan yang selalu tersenyum hilang entah kemana. Hari itu Silvy dan Ardan tidak melakukan hal-hal anarki seperti sebelumnya. Ardan malah benar-benar tak berkata apapun hingga bel pulang sekolah. Silvy pun tak berani menyapanya, Ardan terlihat begitu depresi. Dan sepertinya ia tak ingin seseorang pun mengusiknya hari ini. Ia butuh sendiri.
Setelah kelas kosong, Ardan berjalan ke meja Silvy.“Vy, besok aku pengen ketemu di taman dekat rumahmu habis isya’,” Ardan berdiri di dekat meja, mencengkeram tepiannya dengan kuat. Silvy yang tengah asyik mencatat terlonjak kaget. “Eee, ayam.. Ups, sorry. Eh?? Mau ngapain?” tanya Silvy penasaran. Dilihatnya tubuh Ardan yang seakan hendak roboh, hatinya miris. “Besok kamu akan tau,”. Kemudian Ardan mengambil tas dan jaketnya, ia berjalan keluar meninggalkan Silvy yang bingung setengah mati. Ada apa ini? Silvy mencoba mengacuhkannya, kemudian kembali mencatat materi di papan tulis.
******
Entah kenapa Silvy merasa sangat pusing sore ini. Ia tak boleh tampak sakit di depan Ardan malam nanti. Ia harus tampak sehat seperti biasa.
19.15
Setelah sholat, Silvy bergegas memakai jaket Teddy Bear ungunya, kemudian mengambil kerudung di gantungan pakaian. Ia keluar dan menyambar kunci motornya, kemudian bergegas menuju taman yang telah disepakati.
Lima menit kemudian ia sampai. Mata kecilnya tertuju pada siluet hitam yang duduk di bangku taman. Dari postur tubuhnya ia hafal betul itu adalah Ardan. Ia berlari kecil menghampirinya. Kemudian duduk di sebelah Ardan.
“Halah, lari segitu aja ngos-ngosan,” ejek Ardan. “Yee, aku kan cewek feminin,” Silvy membalas sambil menjulurkan lidahnya. Ardan nyengir kuda. “Jangan bilang kamu nyuruh aku kesini hanya karena pengen buang bensin motorku secara sedikit demi sedikit,” Silvy mencoba menebak. “Idih, kamu tuh selalu aja mikirin kejahatanku,” Ardan tidak terima.
Ardan mendongak menatap langit. Bintang malam itu tampak bersemangat mengumbar sinarnya. Sementara itu, di sebelahnya, Silvy menahan pusing yang mendera. Ia memijat kepalanya.
“Vy, kamu percaya nggak kalau orang yang kita sayang meninggal, lantas akan menjadi bintang. Lalu ia akan mengawasi kita dari sana?” Ardan bertanya pada Silvy. Matanya terpaku pada kilauan bintang di langit. Silvy tak bersuara. Ardan meneruskan ucapannya. “Sejujurnya, malam ini aku hanya ingin mengatakan bahwa aku menyukai seseorang yang selama ini telah mengisi hampir tiga perempat kehidupanku. Orang itu selalu bisa membuatku tertawa senang dengan tingkahnya yang menyebalkan. Aku ingin gadis itu menemani hidupku yang entah akan bertahan sampai kapan. Aku ingin jika sebentar lagi aku pergi, aku memiliki seseorang yang harus aku amati dari atas sana, supaya aku tak bingung harus melakukan apa nantinya. Dan gadis itu adalah kamu, Vy. Maukah kamu mengabulkan permohonanku?” Ardan mengalihkan pandangannya dari langit. Ia menoleh ke arah Silvy. Mata gadis itu terpejam, wajahnya pucat. Silvy pingsan.
******
Silvy membuka mata.
“Kamu sudah sadar, nak?” ibu Silvy tampak khawatir. “Ini rumah sakit kan? Aku kenapa, Ma?”. Raut wajah sang ibunda berubah, air matanya berlinang tak terbendung lagi. “Sabar, anakku. Allah kini sedang mengujimu. Sel kanker dalam tubuhmu kini telah merangsek merusak otakmu. Mama berjanji akan melakukan yang terbaik untukmu,”.
Apa? Kanker otak? Sejak kapan? Silvy hanya diam. Ia tak mampu lagi menangis karene ini terlalu menyakitkan baginya. Ia akan cepat mati. Lalu dimana Ardan? Ia harus mengatakan “YA” atas pertanyaannya sebelum terlambat.
******
Satu bulan sudah Silvy berada di rumah sakit. Dan selama itu ia tak pernah bertemu dengan Ardan lagi. Kini ia berada di bandara, ia akan menjalani perawatan di Australia. Selama ini ia telah mencoba menghubungi Ardan, mencari keberadaannya lewat teman sekelas. Namun hasilnya nihil, Ardan juga menghilang hampir bersamaan dengan masuknya Silvy ke rumah sakit. Setelah ini ia akan pindah sekolah di Australia, supaya lebih mudah mengkonsultasikan penyakit yang di deritanya di sana. Meski begitu, Silvy masih akan tetap berusaha mencari Ardan. Ia berjanji, pasti.
*****
Beberapa tahun berlalu cepat. Silvy dinyatakan sembuh dari kanker. Ia kini telah menjadi dokter yang berdedikasi tinggi di Australia. Hampir segala penyakit dapat ia tangani. Hingga suatu hari ia mendapat undangan untuk menghadiri pertemuan dokter se-Asia di Indonesia. Silvy begitu bahagia mendapat undangan itu. Ia masih belum melupakan Ardan, makhluk oposisi yang telah mengusik pikirannya selama ini. Semoga ia dapat bertemu dengannya lagi, dan menjawab pertanyaan malam itu. Rencana kepergiannya satu minggu lagi. Ia mempersiapkan semuanya dengan antusias. Silvy berharap Ardan masih konsisten dengan ucapan malam itu.
******
Bandara Soekarno-Hatta.
Silvy langsung mencari hotel untuk menginap beberapa hari di Indonesia. Malamnya ia sempatkan berkunjung ke salah satu rumah sakit terbesar se-Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo. Belum juga ia duduk untuk mengatur nafas, tiba-tiba terdengar teriakan dari koridor.
“Hey, mana dokternya? Apa tak ada satu pun yang bisa menolong pasien ini. Dia sekarat,” teriak seorang perawat. “Aku dokter. Dan aku mau membantu pasien ini,” Silvy terketuk hatinya. Ia bergegas mengikuti perawat itu menuju ruangan.
Silvy bergegas mengambil stetoskop. Kemudian mulai meletakkannya di dada pasien, jantungnya terdengar lemah. Ia mengambil suntikan dan mengisinya dengan obat bius, persiapan untuk melaksanakan operasi. Di gulungnya pakaian lengan panjang yang menutupi tangan pasien itu. “I…ini…nggak mungkin,”. Silvy memandangi gelang yang melingkari tangan pasiennya. Sebuah gelang hitam dengan huruf “S” menggantung di salah satu sisinya. Itu gelang Silvy yang direbut Ardan lima tahun lalu. Mata Silvy mulai memandangi sosok yang terbujur lemas di depannya. Lekukan bibirnya, hidung mancungnya, alis tebalnya, bentuk muka yang seperti itu hanya Ardan yang punya. Kemudian Silvy memberikan alkohol di bagian yang akan ia suntik, agar Ardan tak merasa terlalu kesakitan saat operasi nanti. Air mata tak lagi dapat dibendungnya. Seorang dokter muda yang cantik, kuat, anggun dan tersohor kini menangis pilu hanya demi seorang pria kurus yang menyedihkan seperti itu. Para perawat hanya memandang tak mengerti. Saat jarum suntik hendak menusuk kulit Ardan, tiba-tiba tangan kurusnya menahan tangan Silvy.
“Ah, ternyata benar dugaanku. Kamu memang Silvy. Suara lembutmu memberiku semangat untuk membuka mata,” senyum tersungging di bibir rapuh Ardan. Senyum itu tetap indah walau tampak tersiksa. Silvy hanya bisa diam dan menangis. “Wah, wah, wah… Ternyata lawan mainku SMA dulu adalah wanita cengeng,” cengiran lebar terpahat di wajahnya. Ardan terbatuk. Hati Silvy semakin remuk dibuatnya. “Oh ya, malam itu kamu belum menjawab pertanyaanku. Jadi, bagaimana?”
“Dan, kamu kenapa? Apa yang terjadi? Kenapa seperti ini?” Silvy bertanya dalam derai tangisnya. Ardan mengambil nafas, wajah pucatnya kini bertambah lemah. Ia mendesah.
“Dulu, waktu aku masih kecil, aku mengalami kecelakaan fatal. Nyawaku hampir melayang karena tragedi itu. Seseorang bersedia mendonorkan darahnya untukku. Namun itu malah memperburuk keadaan. Tiga tahun kemudian aku dinyatakan terkena HIV/AIDS. Sedangkan pendonor itu sendiri sudah meninggal karena hal yang sama saat aku mengetahuinya.”
“Setelah itu aku merasa ingin mati saja. Masa SMP aku lewati dengan penuh duka, semua orang menjauhiku. Namun aku mulai mendapat sebuah semangat kehidupan di kelas kita, karena kamu. Karena kamu aku merasa ingin hidup lebih lama. Senyum dan tawamu seperti telah memberikan aku nyawa untuk menyambung takdir umur dari Tuhan. Dari situlah aku senang menggodamu. Aku suka ekspresi merajukmu, aku suka bibir manyun saat kamu marah. Aku menikmatinya, ini membuatku lupa bahwa aku hanya akan membuatmu terluka nantinya. Karena nyawaku tak panjang.”
“Lalu kamu jatuh sakit. Aku tak mau mengganggumu dengan membuatmu ingat akan pertanyaan malam itu. Pasti itu akan membuatmu terus berfikir dan mengurangi jadwal istirahatmu, sehingga aku putuskan untuk menjauh darimu. Tak lama setelah aku dengar kamu pergi ke Australia, kakakku meninggal saat pergi hiking. Dialah orang yang selalu menyemangatiku, membuatku merasa sedikit lebih baik setelah kamu pergi. Aku benar-benar seperti orang gila setelahnya. Tak tahu lagi harus berbuat apa. Orang-orang yang membuatku bahagia semua musnah. Hal itu membuatku berlari ke obat-obatan. Dan ini hasilnya, penyakit itu menjadi lebih cepat menyerang tubuhku.” Ardan terdiam. Tatapannya nanar, hampa. Silvy masih menangis.
“Kau mau tau apa? Aku akan menjawab ya atas pertanyaan itu. Aku berjanji akan ada dan mengabulkan permintaan malam itu. Asal kau hidup, aku hanya ingin itu, Dan. Kamu tak perlu menjadi bintang, karena kamu akan mengawasiku selalu disini. Berada disampingku selalu, kau tak butuh tugas seperti bintang malam itu. Kau tak butuh itu, asal kau hidup, Dan. Bertahanlah, aku akan menyembuhkanmu.”
“Tak apa, Vy. Aku tau kamu benar-benar mencintaiku. Kau tak perlu menangis seperti itu. Aku akan merasa bersalah jika mati dalam keadaan membuatmu menangis. Aku tak meragukan kepiawaianmu dalam bidang kesehatan. Tapi orang bodoh pun tahu, HIV/AIDS hanyalah penyakit yang menunggu waktu. Dan jelas sekali, waktuku sudah direnggutnya dengan paksa, aku tak mampu menolaknya.”
“Sekarang ingat saja, aku akan menjadi bintang paling besar di angkasa. Dan liat saja jika kamu berani melupakan aku, aku akan menyuruh seluruh bintang menghukummu.” Ardan tersenyum manis sekali, lalu senyuman itu menghilang seiring dengan berhentinya detak jantung Ardan. Silvy menangis sejadinya. Hancur sudah harapan kedatangannya di sini. Benar semua masa depan yang ia ingin telah tercapai. Rumah mewah, koneksi dengan orang terkenal dunia, mobil keluaran terbaru, uang segunung. Apapun itu ia telah miliki. Tapi kenapa impian masa depan, bersanding dengan Ardan, menggendong anak kembar yang lucu harus musnah? Padahal itu yang ia ingin lebih dari apapun.
Semoga Tuhan menempatkannya di sebuah tempat paling indah.
******
Wanita muda di depan pusara itu mencium lembut nisan batu yang dingin. Nama Ardan Fadliansyah terukir jelas di nisan itu. Jutaan kenangan terbersit di ingatannya. Kata-kata terakhir Ardan, malam penuh bintang ba’da Isya’, muntahan wanita anggun itu di tangan Ardan, semua hadir bagaikan rangkaian film. Jelas terlihat, transparan, begitu jujur. Hujan turun semakin deras. Wanita muda itu beranjak dari tempatnya, kembali mengenakan kacamata hitamnya.
“Lihat, Dan. Aku tidak melupakanmu kan? Kau tak perlu membawa semua bintang di angkasa untuk menghukumku,” wanita cantik itu berpaling. Senyuman tulus nan lembut terpancar dari wajah mempesonanya. Ia berjalan menuju mobil keluaran terbaru bulan itu yang ia parkir d dekat pemakaman umum. Derai hujan mengantar kepergian wanita muda itu. Terdengar bunyi mobil bergerak meninggalkan tempat itu. Pemakaman itu kembali sepi, hening.

BACA SELENGKAPNYA...
Description: contoh cerpen remaja Rating: 5.0 Reviewer: Eri ItemReviewed: contoh cerpen remaja


ARTIKEL TERKAIT:

ket: *Orange = belum dibaca | *Biru = sudah dibaca


0 Komentar untuk "contoh cerpen remaja"
Back To Top